Jumat, 18 Maret 2011

MACAM-MACAM HADIST

  Tingkatan dan Jenis Hadits

1. Hadits Shohih (Sah/benar/sehat)
2. Hadits Hasan (Bagus/Baik)
3. Hadits Dho’if (Lemah)
4. Hadits Marfu’ (Semua sanadnya bersandar kepada Rasulullah Saw)
5. Hadits Mushahhaf (Kesalahan terjadi pada catatan / bacaannya)
6. Hadits Muttasil (Sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah Saw)
7. Hadits Mauquf (Sanadnya boleh jadi bersambung, boleh jadi terputus)
8. Hadits Mun-qoti’ (Dho’if, karena terputus sanadnya)
9. Hadits Mursal (Dho’if dan Mardud)
10. Hadits Mu’allal (Terselubung cacatnya / merusak keshohihan Hadits)
11. Hadits Ghorib (Yang menyendiri)
12. Hadits Masyhur (Nyata)
13. Hadits Mudallas (Gelap / Menyembunyikan cacat dalam sanad)
14. Hadits Mutawatir (Berturut Sanadnya)
15. Hadits Syadz (Bertentangan)
16. Hadits Mudraj (Ada tambahan, yang bukan bagian dari Hadits)
17. Hadits Maqlub (Dho’if. Karena ada pergantian lafaz)
18. Hadits Mudhtorib (Rusak susunan)
19. Hadits Mu’adhal (Menggugurkan dua Perawi aslinya)(Hukumnya Dho’if)
20. Hadits Matruk (Dho’if yang paling buruk. Perawinya tertuduh Pendusta)
21. Hadits Maudhu’ (Palsu. Kebohongan yang diciptakan dan disandarkan kepada Rasul Saw)
22. Hadits Munkar (Cacat dan Palsu perawinya kedapatan berbuat Fasiq)

Jika Hadits-hadits yang kita baca terdapat Keterangan yang mengatakan seperti dibawah ini :
7 Imam : Al-Bukhari. Muslim. Ahmad. Abu Daud. At-Turmudzy. An-Nasa’iy. Ibnu Majah.
6 Imam : Al-Bukhari. Muslim. Abu Daud. At-Turmudzy. An-Nasa’iy dan Ibnu Majah.
5 Imam : Ahmad. Abu Daud. At-Turmudzy. An-Nasa’iy. Ibnu Majah.
4 Imam : Ahmad. At-tirimidzy. An-Nasa’iy. Ibnu Majah.
3 Imam : Abu Daud. At-turmudzy. An-Nasaiy.Muttafaqun 'Alaih : Al-Bukhari dan Muslim.

Banyak orang yang berjiwa ta'at dan patuh kepada Agama. Tetapi karena pengetahuannya tentang Hadits sangat terbatas, sehingga ia nampak seperti orang yang hidup dalam kegelapan. Yaitu meraba-raba dan seperti berjalan tiada tentu arah tujuan. Tidak ada pegangan yang menimbulkan ketenangan dalam hati untuk menetapkan langkahnya. Dan ia akan berhati-hati dengan tidak ada alasan. Kadang-kadang mereka bisa bersikap sangat pemberani (agresip). Padahal ia berbuat salah. Maka untuk menghindarkan segala sifat yang buruk dan merugikan diri sendiri seperti yang demikian itu !!! Hendaknya kita selalu mencari tambahan ilmu tentang Hadits. Dengan demikian kita berjalan menurut Cahaya yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw. kepada seluruh umatnya. Kita mengharap kepada Allah SWT semoga kita jangan sampai terperangkap dengan Hadits-hadits palsu !!! Yang pada akhirnya kita sendiri yang akan rugi. Karena dari dahulu hingga sekarang. Kebanyakan dari kita, hanya menerima Cerita-cerita Israiliyat yang sampai kepada kita melalui cerita entah berantah, lalu kita katakan itu adalah Hadits Nabi Saw. Maka sanksinya adalah Neraka !Oleh karena itu. Wajib bagi kita belajar lagi untuk memperhalus kaji. Agar jangan menjadi orang yang hanya ikut-ikutan saja, alias ikut saja apa kata orang. Yakni bertaqlid buta (tiada 'ilmu). Ingatlah ! Neraka tetap menanti kehadiran orang yang demikian ini !Dan semoga para pembaca yang berminat dengan pelajaran ini, kita harapkan untuk mencari atau bertanya kepada Ahli Hadits yang banyak liku-likunya, karena maksud dari pelajaran ini bukan menguraikan ilmu Hadits, tetapi mengurai isi Hadits yang berkaitan dengan ketetapan Ibadah. Maka dipersilahkan menambah ‘ilmu kepada para Ahli Hadits yang Mu’tabar dimanapun ia berada.
Sunnah ada enam Kitab Hadits yang ternama, yang merupakan pegangan penjelasan utama bagi umat Islam. Keenam Kitab tersebut ialah :
1. Shohih Imam Al-Bukhari.
2. Shohih Imam Muslim.
3. Imam Abu Daud.
4. Imam An-Nasa'iy.
5. Shohih At-Turmudzy.
6. Imam Ibnu Majah.
Demikian serba sedikit tentang Hadit dan Sunnah.

SYABAB (PEMUDA) DAKWAH


Jika kita membicarakan salah satu tokoh diantara tokoh ummat yang pernah hidup dalam perjalanan sejarah, kita akan menemukan persamaan antara tokoh yang satu dengan tokoh lainnya. Persamaan itu dapat kit aambil titik temunya, mereka adalah orang-orang yang memiliki:
One. Quwwatur-ruh, dan
Two. Quwwatul qalb.
Dengan kekuatan ini, kuat pula segala hal lain yang mereka miliki.
Benar apa yang diungkapkan oleh Bisyr Al Khothib yang dikutip oleh Syekh Ahmad Rasyid dalam kitabnya, katanya: “Cukuplah bagimu, engkau melihat orang-orang yang telah mati yang ketika sejarah hidupnya dipelajari hati menjadi hidup, sebagaimana ada pula manusia-manusia yang hidup diantara kita yang dengan melihatnya hati kita menjadi mati”.
Rasulullah saw pernah bersabda dalam sebuah hadits shahih yang banyak dikutip dalam buku-buku sirah, ketika para sahabat menceritakan kepribadian Umar ra, Rasulullah saw bersabda:
إِنَّهُ قَدْ كَانَ فِيمَا مَضَى قَبْلَكُمْ مِنَ الْأُمَمِ مُحَدَّثُونَ وَإِنَّهُ إِنْ كَانَ فِي أُمَّتِي هَذِهِ مِنْهُمْ فَإِنَّهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ (رواه أحمد والبخاري).
“Sesungguhnya pada setiap ummat ada orang yang mendapatkan ilham (muhaddits). Sesungguhnya jika di dalam ummatku ada muhaddits, maka dia adalah Umar”.
Jika kita membaca sejarah hidup Umar ra, kita akan menemukan bahwa beliau adalah orang yang memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya adalah ilham yang dimilikinya. Suatu ketika, ketika beliau berdiri di mimbarnya, Allah memperlihatkan kepadanya perjalanan pertempuran antara Sariyyah dan Romawi, dari jarak ratusan, bahkan ribuan mil, Umar memerintahkan: “Wahai Sariyyah, berlindunglah ke balik gunung, berlindunglah ke gunung”. Para sahabat yang mendengar kebingungan, tapi diantara mereka tidak ada yang berprasangka bukan-bukan terhadap Umar. Ketika Sariyyah pulang dari pertempuran dengan membawa kemenangan, mereka bertanya: “Apakah kalian mendengat seruan Umar?”. Kata Sariyyah: “Kami mendengar dan kami mentaatinya”.
Dalam kesempatan lain, dalam kesendiriannya, Umar berkata: “Barang siapa dari keturunanku nanti memiliki luka di wajahnya, dia akan meramaikan dunia dengan keadilannya”.
Ketika Umar bin Abdul Aziz lahir, di wajahnya tidak ada luka. Tapi ketika ia masih kecil, dia pernah terluka di wajahnya ketika sedang bermain-main.
Ini sekaligus sebagai bukti kebenaran Ilham Umar ra.
Ketika Abdul Aziz bin Marwan (Bapaknya Umar bin Abdul Aziz) melihat hal itu, ia mengatakan: “Kalau engkau adalah orang yang diungkapkan oleh kakekmu dulu, engkaulah pemakmur dunia ini dengan keadilan”.
Kebenaran ini terbukti kemudian.
Tahun 99 H, Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah. Meskipun ia hanya menjabat sebagai khalifah selama dua tahun lima bulan, namun hasil kekhalifahannya terlihat jelas.
Dalam kitab Hayatush-Shahabah disebutkan, ketika Umar menjadi khalifah, adalah seorang pemuda yang menjadi rakyatnya yang setiap shalat digoda oleh wanita cantik untuk berbuat serong. Lama kelamaan ia tergoda dan melakukan perbuatan serong. Ia menyesal dan kemudian meninggal. Ketika Umar tidak melihat pemuda ini dalam jama’ah shalat, bertanyalah Umar tentang pemuda ini. Diceritakanlah kisah tentang pemuda itu. Karena kematiannya berada di tempat orang yang hanya pemuda itu dan si wanita, segeralah pemuda itu dikuburkan tanpa memberitahu orang lain. Ketika Umar ra mengetahui, ia bertanya: “Mengapa kalian lakukan yang demikian?”. Kemudian Umar ra ingin bicara langsung dengan pemuda itu. Umar ra kemudian mendatangi kuburan pemuda itu.
Dalam sejarah kita menemukan pula kejadian serupa dalam diri imam Syafi’i. Beliau adalah orang yang mendapatkan ilham. Muridnya yang empat: Ar-Rabi’ bin Sulaiman, Al Buwaithi, Al Muzani dan Ibnu Abdil Hakam, sebelum meninggal mengungkapkan kepada murid-muridnya tersebut, kamu akan menjadi ini, kamu akan menjadi ini dan sebagainya. Semua ucapan imam Syafi’i ini kemudian terbukti kebenarannya.
Pada dasa warsa ini, salah satu tokoh yang insya Allah mendapatkan ilham adalah asy-syahid imam Hasan Al Banna rahimahullah.
Kalau kita membaca buku Ikhwanul Muslimin; Ahdats Shana’at-Tarikh, kiat akan melihat bahwa perjalanan awal asy-syahid Sayiid Qutub, kelasnya selevel dengan “Nurcholis group”. Saat itu di Mesir terbit majalah sastra yang menjadi ajang pertemuan 20 sastrawan. Salah satu kubunya adalah para tokoh aliran sastra bebas yang dikomandani oleh Abbas Mahmud Al Aqqad, dan kubu lainnya adalah sastrawan muslim yang dikomandani oleh Musthofa Shadiq Ar-Rafi’i. Sayyid Qutub adalah murid pilihan Al Aqqad. Ketika Musthofa meninggal, Al Aqqad naik, karena tidak ada saingan, murid-muridnya diberi rangsangan untuk menulis.
Dalam sebuah surat kabar mingguan, Sayyid Qutub menulis makalah di mana dia menyerukan kepada para wanita muslimah untuk membuka auratnya, karena menutup aurat dianggap olehnya sebagai penghambat kemajuan wanita.
Tulisan ini dibaca oleh Ustadz Abdul Halim Mahmud dan beliau membuat tanggapan. Tapi sebelum tanggapan ini dimuat di media massa, Ustadz Abdul Halim mendiskusikannya terlebih dahulu dengan Imam Al Banna.
Kata Imam Al Banna: “Saya menyetujui 100 % tulisan kamu, tapi saya memiliki perasaan lain tentang orang ini, berilah beberapa pertimbangan:
Pertama: Dia masih muda, dan apa yang ditulisnya bukanlah dari otaknya sendiri, tapi dari lingkungannya.
Kedua: Anak muda biasanya menyenangi sensasi dan mencari musuh, apa yang dilakukan Sayyid Qutub oleh Imam Al Banna dinilai sebagai upaya mencari eksistensi diri.
Ketiga: karena dia masih muda, kita masih memiliki harapan, siapa tahu dia akan menjadi pemikul beban da’wah.
Pertimbangan yang lain, kata Imam Al Banna, dia (Sayyid) menulis di surat kabar yang tidak terlalu terkenal di Mesir ini. Kalaupun dikenal, makalah atau kolom, umumnya tidak terlalu menarik perhatian orang banyak untuk membacanya, apalagi kalau ditulis oleh seorang pemula yang belum memiliki nama. Kalau kita menanggapinya, orang-orang yang semula tidak tahu menjadi ingin mengetahuinya, dan orang-orang yang mungkin pernah membaca secara selintas akan mengulang kembali membacanya untuk mengenali muatan tulisan tersebut. Tujuan anak muda ini menulis adalah untuk mendapatkan serangan atau tantangan dari khayalak yang dengan serangan itu akan menaikkan dan mengangkat namanya. Imam Al Banna berkata lagi: “Kalau kita bantah tulisan itu, kita berarti menutup kesempatan diri pemuda itu untuk bertobat karena orang cenderung untuk membela diri jika kesalahannya diluruskan, apalagi bila pelurusan itu dilakukan di depan umum, ia akan membela dirinya mati-matian, meskipun dalam hati kecilnya ia menyadari kesalahan atau kekeliruannya. Dengan demikian, kalau tanggapan itu ita lakukan, berarti kita telah menutup kesempatan bertaubat bagi dirinya”.
Akhirnya Imam Al Banna mengatakan: “Wahai Mahmud, inilah pandanganku tentang orang ini, akan tetapi, kalau engkau tetap ingin mengirimkannya, silahkan saja”.
Ustadz Mahmud setuju untuk meninjau kembali rencana pengiriman tulisan itu, sehingga akhirnya tulisan itu tidak jadi dikirim.
Dan pada akhirnya, terbuktilah kebenaran perasaan Imam Al Banna, sebab pada akhir perjalanan hidupnya, Sayyid Qutub menjadi penopang dan pemikul beban da’wah dan iapun bergabung dengan jama’ah ini.
Hal itu merupakan bagian dari firasat seorang mukmin yang dimiliki oleh Imam Al Banna.
Untuk lebih jelasnya, mari kita ikuti perjalanan beliau sejak kecil hingga beliau meninggalkan dunia yang fana ini.
Imam Al Banna dilahirkan sama dengan tahun dilahirkannya Sukarno, yaitu tahun 1906 M, di suatu wilayah yang bernama Al Mahmudiyah. Beliau dilahirkan dari keluarga yang gemar kepada ilmu. Ayahnya seorang ulama’ yang bernama Asy-Syekh Ahmad bin Abdur-Rahman As-Sa’ati, seorang tukang jam. Meskipun seorang tukang servis jam, namun beliau juga seorang ulama’. Diantara karya besarnya adalah menertibkan kitab hadits musnad Imam Ahmad sesuai dengan urutan tema fiqih, kitab itu diberi nama Al Fathu Ar-Rabbani fi Tartibi Musnadil Imami Ahmad Asy-Syaibani.
Ketika kecil beliau mendapatkan pendidikan di Madrasah Ar-Rosyad Ad-Diniyyah yang diasuh oleh Asy-Syekh Az-Zahroni. Disekolah SD itulah beliau menghafal Al Qur’an sebanyak setengah Al Qur’an atau kurang lebih 15 juz. Rupanya sekolah ini tidak lama umurnya, karena Asy-Syekh Az-Zahrani ditarik oleh departemen pendidikan di sana, dan bubarlah sekolahan itu.
Beliau kemudian melanjutkan sekolahnya di Al I’dadiyyah. Disana beliau membagi waktunya menjadi empat bagian: belajar di pagi hari, kemudian sepulang sekolah beliau belajar memperbaiki jam hingga sore hari, dan di malam harinya beliau mempersiapkan diri untuk sekolah besok paginya, dan pagi harinya setelah shalat Shubuh, beliau menghafalkan Al Qur’an. Dengan kebiasaan inilah beliau hampir menamatkan hafalan Al Qur’annya.
Setelah tamat di Al I’dadiyyah, Hasan Al Banna kecil melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Al Mu’allimin Al Awwaliyyah di Damanhur. Disana beliau tamat menghafalkan Al Qur’an. Madrasah Al Mu’allimin ini adalah sekolah yang di sini setingkat dengan SPG atau SMU. Setelah itu beliau mendapatkan dua peluang belajar, di Al Azhar atau di Darul ‘Ulum. Kalau melanjutkan di Darul ‘Ulum ia akan menjadi guru. Dan kalau di Al Azhar beliau bisa melanjutkan dan biasanya menjadi ulama’ besar. Namun beliau lebih memilih Ma’had Darul ‘Ulum program diploma tiga tahun. Lalu pindahlah beliau ke Kairo.
Pada masa mudanya –bahkan sejak masih duduk di bangku SD- Hasan Al Banna tertarik kepada salah satu tarekat yang memang tumbuh menjamur pada masa itu. Tarekat yang diminatinya bernama tarekat Al Hashafiyyah, yang didirikan oleh seorang ulama’ besar bernama Syekh Al Hasanain Al Hashafi, seorang tamatan Al Azhar.
Dalam buku yang ditulis oleh Imam Al Banna; Mudzakkiratud-Da'wahwah Wad-Da'wahiyah, disebutkan, tarekat yang didirikan oleh Syekh Al Hashafi berbeda dengan tarekat-tarekat lain yang ada pada masa itu. Syekh Al Hashafi selalu gemar menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Imam Al Banna bercerita tentang Syekh Al Hashafi, meskipun beliau belum pernah bertemu langsung dengannya. Kata beliau, pada saat berkunjung kepada Syekh Khudhari Bik, seorang penguasa Mesir, beliau menyampaikan salam yang kemudian dijawab oleh Hudhari Bik dengan isyarat. Dengan berang Al Hashofi mengatakan:
رَدُّ السَّلاَمِ وَاجِبٌ، وَلاَ يَكْفِي بِاْلإِشَارَةِ
Menjawab salam hukumnya wajib dan tidak cukup dengan isyarat.
Akhirnya Khudhari Bik malu sendiri dan menjawab:
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Kemudian ketika beliau diundang oleh seorang perdana menteri Mesir bersama ulama’-ulama’ yang lain, beliau melihat ulama’-ulama’ tersebut menundukkan kepada kepada perdana menteri karena mengikuti seorang ulama’ yang menundukkan kepalanya kepada sang perdana menteri itu. Ketika melihat hal itu syekh Al Hashafi memukul dan berkata kepada para ulama’ itu:
يَا هَذَا! اَلرُّكُوْعُ للهِ فَقَطْ، وَلاَ يَحِلُّ الرُّكُوْعُ لِلنَّاسِ!
Wahai orang ini! Ruku’ itu hanya untuk Allah semata, dan tidak halal ruku’ kepada manusia!
Inilah diantara kisah kepribadian Syekh Hasanain Al Hashafi yang membuat Hasan Al Banna tertarik kepadanya dan ingin berhubungan lebih jauh dengan tarekat yang didirikannya.
Beliau mengikuti tarekat Al Hashafiyah semasa dipimpin oleh putra Syekh Hasanain Al Hashafi, namanya syekh Abdul Wahhab bin Hasanain Al Hashafi.
Diceritakan oleh Imam Al Banna bahwa syekh Abdul Wahhab tidak sekeras dan setegas bapaknya. Namun beliau orang bersih, lurus dan dikenal sebagai ahli suluk, yaitu orang yang ibadahnya tidak diragukan lagi.
Beliau juga bisa dikatakan sebagai orang yang mulham.
Suatu ketika beliau bersama seorang sahabatnya yang bernama Ahmad Affandi As-Sakari bertemu dengan syekh Abdul Wahhab, beliau mengatakan kepada keduanya:
أَنَّنِيْ أَتَوَسَّمُ أَنَّ اللهَ سَيَجْمَعُ عَلَيْكُمُ الْقُلُوْبَ وَيَنْضَمُّ عَلَيْكُمْ كَثِيْرًا مِنَ النَّاسِ، فَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ سَيَسْأَلُكُمْ عَنْ أَوْقَاتِ هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ سَيَجْتَمِعُوْنَ عَلَيْكُمْ، أَفَدْتُمُوْهُمْ فِيْهَا، وَيَكُوْنُ لَهُمْ الثَّوَابُ، وَلَكُمْ مِثْلُهُمْ، أَمْ اِنْصَرَفَتْ هَبَاءً فَيُؤَاخَذُوْنَ وَتُؤَاخَذُوْنَ.
Aku melihat dari wajah kalian bahwa Allah swt akan menghimpun hati manusia kepada kalian dan Allah akan menyatukan mereka kepada kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah swt akan bertanya kepada kalian atas waktu mereka yang berkumpul kepada kalian itu, apakah kalian memberikan kepada mereka manfaat dan tentunya mereka akan mendapat pahala dan demikian pula kalian, atau waktu mereka itu hilang percuma, maka mereka akan dimintai pertanggung jawaban dan demikian pula kalian.
Inilah yang diungkapkan oleh Syekh Abdul Wahhab kepada Hasan Al Banna dan Ahmad Affandi As-Sakari.
Dari pengalamannya di tarekat inilah beliau mulai berorganisasi dengan membentuk satu organisasi yang diberi nama Jam’iyyah Al Khairiyyah Al Hashafiyyah. Dalam organisasi ini yang menjadi ketuanya adalah Ahmad Affandi As-Sakari –yang nantinya dalam jama’ah Ikhwanul Muslimin dia menjadi wakil- dan yang menjadi sekretarisnya adalah Hasan Al Banna.
Aktifitas organisasi ini ada dua:
1. Menyebarkan da'wah kepada akhlaq yang mulia dan memerangi berbagai kemunkaran dan hal-hal yang diharamkan dan tersebar luas di masyarakat, seperti: judi, minuman keras, dan bid’ah-bid’ah yang ada pada perayaan-perayaan.
2. Menghadapi propaganda missi Zending Kristen yang ada di Mesir pada waktu itu.
Dalam buku Mudzakkirotud-Da'wah Wad-Da'iyah Imam Al Banna menceritakan, beberapa kantor IM berdampingan dengan kantor-kantor missi kristenisasi.
Dan kita lihat pula dalam kitab fi qafilatil Ikhwan Al Muslimin yang ditulis oleh Ustadz Abbas As-Sisi, foto-foto yang ada dalam buku tersebut menggambarkan betapa jama’ah ini memiliki toleransi dengan orang-orang palangis itu. Hasan Al Hudhaibi, mursyid ‘aam kedua misalnya, dalam foto-foto itu bergambar berdampingan dengan pembesar Kristen Qibti. Hal itu menandakan bahwa jama’ah ini sejak pertama tidak melupakan peran sosialnya kepada orang Nasrani yang merupakan bagian dari ummat manusia.
Setelah beliau selesai dari Mu’allimin Al Awwaliyyah dan setelah beliau memilih Darul ‘Ulum sebagai sekolah kelanjutannya, beliau terpaksa harus berpisah dengan keluarga dan sahabat yang dicintainya. Disana, di Kairo, beliau hidup sendirian dan tidak mengandalkan kiriman wesel dari orang tuanya, beliau benar-benar mandiri. Karena kemandiriannya ini, beliau menjadi sangat sibuk, sampai-sampai ketika menjelang ujian masuk Darul ‘Ulum beliau tidak sempat belajar.
Dalam kitab Ahdats Shana’at-Tarikh Imam Al Banna bercerita: Di malam ujian itu beliau melakukan shalat tahajjud seperti biasanya, dan memohon serta mengadu kepada Allah swt. Dalam do’anya beliau berkata: “Ya Allah! Sesungguhnya Engkau tahu betapa rindunya diriku kepada ilmu dan betapa cintaku kepada-Mu, tapi Engkau juga tahu betapa sibuknya diriku dalam mencari ma’isyah untuk mempertahankan hidup di kota ini, berilah jalan keluar bagiku”.
Beliau akhirnya tertidur malam itu dan bermimpi kedatangan seseorang yang membawa buku dan membuka-buka buku itu dan dia turut membuka dan membacanya. Ketika ujian tiba, ternyata apa yang dia baca dalam mimpi itulah yang diujikan esok harinya.
Beliau lulus dan mendapatkan nilai istimewa. Ini juga salah satu tanda bahwa beliau termasuk seorang yang Muhaddats, Mulham karena kebersihan dan ketaqwaannya, insya Allah.
Beliau selanjutnya belajar di Darul ‘Ulum dengan lancar. Selain mencintai Al Qur’an dan As-Sunnah, beliau juga menyenangi syi’ir-syi’ir Arab. Setiap mendapatkan syi’ir beliau mencatatnya hingga buku-bukunya tentang syi’ir bertumpuk.
Ketika ujian kelulusan dari Darul ‘Ulum, saat tes lisan, beliau bawa buku-buku itu. Salah satu dari dua orang penguji bertanya tentang apa yang dihafalnya dari syi’ir-syi’ir itu. Dia menjawab: “Semuanya aku hafal”. Yang satunya lagi bertanya: “Bait mana yang paling engkau senangi dari syi’ir-syi’ir itu? Al Banna mengatakan: “Bait Syi’ir yang diucapkan oleh Thorfah bin Al ‘Abd, salah seorang penyair di zaman jahiliyyah.
إِذَا الْقَوْمُ قَالُوْا مَنْ فَتَى؟ خِلْتُ أَنَّنِيْ عُنِيْتُ فَلَمْ أَكْسَلْ وَلَمْ أَتَبَلَّدِ
Bila orang bertanya : “Siapa pemuda? Saya membayangkan akulah yang dimaksud, karenanya, saya tidak bermalas-malas dan tidak membodohi diri.
Mendengar jawaban itu, sang penguji mengatakan: “Wahai anakku, dengan demikian aku nyatakan engkau lulus dari Darul ‘Ulum, dan yang memiliki jawaban seperti ini hanya engkau dan ustadz Muhammad Abduh. Aku melihat bahwa engkau akan memiliki masa depan yang gemilang”.
Ada syi’ir lain yang selalu beliau kumandangkan, yaitu:
قَدْ رَشَّحُوْكَ لأَمْرٍ لَوْ فَطِنْتَ لَهُ فَارْبَأْ بِنَفْسِكَ أَنْ تَكُوْنَ مَعَ الْهَمَلِ
Orang-orang telah mencalonkan kamu untuk suatu urusan, kalau saja kamu tahu.
Maka jagalah dirimu jangan sampai engkau termasuk orang-orang yang lalai.
Beliau lulus dari Darul ‘Ulum tahun 1926 M dan langsung memilih mengajar di sebuah SD di Isma’iliyyah. Ketika beliau hidup di tengah masyarakat, mulailah beliau berkomunikasi dan berbaur dengan masyarakat danmendekati tokoh-tokoh agama.
Pada suatu malam di bulan Ramadhan, beliau berkumpul bersama tokoh-tokoh ‘ulama’ di rumah salah seorang ‘ulama’ senior yang bernama syekh Yusuf Ad-Dajawiy. Di masa itu, orang-orang sosialid komunis, kapitalis dan palanis telah merajalela dalam perngrusakan ummat, sehingga kemungkarantersebar ke mana-mana. Dalam kesempatan tersebut Hasan Al Banna mengutarakan keresahan hatinya dan meminta para ulama’ itu untuk melakukan sesuatu demi amar ma’ruf nahi munkar. Jawaban syekh Yusuf pada waktu itu: “Sesungguhnya Allah swt tidak membebani seseorang yang melebih kemampuannya”.
Mendengar jawaban seperti itu Hasan Al Banna tidak puas, ia kemudian berkata: “Wahai Syekh! Andaikan ucapan ini diucapkan oleh selain anda, mungkin kami bisa menerimanya, tapi bila anda yang mengucapkannya, maka sulit bagi kami untuk menerimanya. Ucapan ini terkesan lebih merupakan pembelaan diri, sementara tidak ada sesuatu-pun yag anda lakukan untuk membendung kemungkaran ini”.
Rupanya ucapan Hasan Al Banna ini membuat marah hadirin yang lain. Tapi Al Hamdulillah beliau didukung oleh salah seorang hadirin yang bernama Syekh Bik Kamil. Hasan Al Banna sebenarnya baru pertama kali bertemu dengan syekh Ahmad Bik Kamil ini, namun karena pembelaannya yang tepat pada waktunya itu –di saat Al Banna dalam posisi tersudut- membuat Al Banna tertarik kepadanya dan berharap dapat berjumpa kembali dengannya pada masa yang akan datang.
Karena pembicaraan itu terus berkepanjangan, sementara mereka yang hadir juga diundang di majlis yang lain, maka syekh Yusuf mengajak tamu-tamunya untuk pergi. Hasan Al Banna yang sebenarnya tidak diundang untuk acara tersebut, ikut pula bersama mereka. Mereka semua berkunjung ke rumah salah seorang ulama’ yang bernama syekh Muhammad Sa’ad.
Di rumah syekh Muhammad Sa’ad, Hasan Al Banna sengaja memilih tempat duduk persis di sebelah syekh Yusuf yang merupakan ulama’ yang dituakan, agar perhatian turut pula ditujukan kepadanya. Benar saja, tuan rumah tidak lama kemudian bertanya kepada syekh Yusuf tentang pemuda yang ada di sebelahnya, yang tidak lain adalah Hasan Al Banna, yang saat itu usianya baru 21 tahun.
Di rumah syekh Sa’ad mereka disuguhi aneka makanan lezat. Melihat semuanya itu, Hasan Al Banna merasa panas dan tidak senang hatinya. Beliau kemudian berkata: “Apakah kalian kira Allah swt tidak akan menghisab kalian dengan apa yang kalian perbuatan seperti ini? Jika kalian tahu bahwa Islam memiliki ulama’-ulama’ selain kalian, tolong tunjukkan aku kepada mereka, mungkin aku akan mendapatkan sesuatu dari mereka yang tidak aku dapatkan pada kalian!”
Mendengar ucapan Hasan Al Banna ini, syekh Sa’ad menangis, lalu ia berkata: “idzan, madza af’al (kalau begitu, apa yang harus saya lakukan?) jawab Al Banna: Masalah ummat ini adalah masalah yang berat. Sebagaimana mereka menyerang ummat ini dengan tulisan-tulisan, kita hadapi pula tindakan mereka dengan tulisan, kalian adalah ulama’-ulama’ besar dan memiliki hubungan yang luas. Kumpulkan orang-orang kaya untuk menyokong dana dan kalian para ulama’ menyiapkan tulisan-tulisan untuk menghadapi serangan mereka”.
Mendengar jawaban Hasan Al Banna, syekh Sa’ad segera memerintahkan menyingkirkan makanan dan minuman, dan kemudian mengambil pena dan kertas. Malam itu juga mereka menginventarisir siapa ulama’ yang harus mereka hubungi untuk membuat tulisan dan siapa orang-orang kaya yang akan mereka mintai bantuan dananya.
Kelompok ini pada saat itu agak berseberangan jalan dengan kelompok syekh Rasyid Ridha dan kawan-kawannya. Pada malam itu syekh Sa’ad memerintahkan pula untuk melibatkan syekh Rasyid Ridha dkk. Diantara yang hadir mengatakan: “Bukankah mereka berbeda (tidak sefikrah) dengan kita? Jawab syekh Sa’ad: “Masalah sekarang ini lebih besar daripada masalah yang kita perselisihkan selama ini, lupakan semua perbedaan itu dan kita cari apa yang kita sepakati”.
Dari pertemuan inilah kemudian berdiri satu jam’iyyah, yaitu: Jam’iyyah Syubbanul Muslimin.
Tidak lama setelah itu terbitlah majallah Syubbanul Muslimin yang bernama Al Fath Al Islami.
Hasan Al Banna sebelumnya, semasa di Kairo, selain belajar, beliau juga aktif berda’wah. Ketika di Al Isma’iliyyah, beliau kembali melakukannya. Beliau mendatangi kedai-kedai kopi. Da’wah beliau begitu indahnya. Meskipun hanya beberapa menit saja, mampu mengundang sempati orang-orang yang kurang terpelajar. Mengenai hal ini semua antum sudah mengetahui.
Suatu ketika datanglah beberapa orang kepada Hasan Al Banna. Mereka berkata: “Wahai Ustadz! Kami sudah tidak sabar. Kami hanyalah orang yang tidak mengerti apa-apa, hendak engkau bawa kemana-pun kami, kami akan ikuti. Sekarang, apa yang harus kami lakukan?
Dari pembicaraan-pembicaraan seperti ini, kemudian pada bulan Maret 1928 M terjadilah pembai’atan pertama dalam sejarah jama’ah ini. Ada enam orang yang berbai’at, yaitu:
1. Hafizh Abdul Halim.
2. Ahmad Al Hushari.
3. Fuad Ibrahim.
4. Abdur-Rahman Hasbullah.
5. Isma’il Izz, dan
6. Zakkiy Al Maghribi.
Setelah keenam orang ini berbai’at, salah seorang diantaranya bertanya: “Sekarang kita sudah berkumpul, hendak kita namakan apa kelompok kita ini? Apakah kita perlu membentuk organisasi atau klub atau salah satu tarekat atau yang lainnya dan kita mengambil bentuk yang formal?
Hasan Al Banna menjawab: “Sesungguhnya kita tidak termasuk yang ini atau yang itu dan kita tidak terlalu peduli masalah formal seperti ini. Hendaknya kita menjadikan awal dan dasar pertemuan ini karena kesamaan fikrah, perasaan dan kesamaan untuk beramal. Kita bersaudara dalam berkhidmah kepada ummat Islam. Berarti kita adalah Ikhwanul Muslimin”. Sejak itulah istilah Ikhwanul Muslimin digunakan.
Ada beberapa sisi lain dari kehidupan Hasan Al Banna yang dapat kita pelajari. Diantaranya adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Ustadz Abdul Halim Mahmud ketika beliau berjumpa dengan seorang ulama’ Al Azhar yang dikenal dengan sebutan Hakimul Islam, yaitu: Syekh Thanthawi Jauhari. Beliau adalah seorang ulama’ yang berusaha menggabungkan ilmu qauli dengan ilmu kauni, salah seorang ulama’ tafsir, kitab tafsirnya bernama: Al Jawahir. Dalam usianya yang sudah tua, beliau rela dipimpin oleh seorang yang masih muda dan hanya sebatas guru SD. Padahal beliau adalah syekh yang dituakan dan ulama’ terkenal.
Kata Ustadz Abdul Halim, ketika beliau sedang menulis Arjuzah di kantor Ikhwanul Muslimin, saat itu beliau sedang sendirian, datanglah syekh Thanthawi menjumpainya. Sebelumnya Ustadz Abdul Halim sempat berharap dapat bertemu langsung dengan syekh Thanthawi dan berbicara secara khusus, dan Al Hamdulillah Allah swt mengabulkannya.
Syekh Thanthawi bertanya kepada Ustadz Abdul Halim: “Apa yang sedang engkau tulis? Dijawab oleh ustadz Abdul Halim: “Saya sedang menulis syi’ir yang dipesankan oleh Imam Hasan Al Banna”. Syi’ir itu kemudian dibaca oleh syekh Thanthawi dan beliau kemudian meminta ustadz Abdul Halim membacakanya untuknya. Ustadz Abdul Halim yang hanya lulusan teknik dan bukan lulusan syari’ah serta tidak memahami cara membaca syi’ir, kemudian membaca syi’ir itu. Kata syekh Thanthawi: “Bukan begitu cara membaca syi’ir”. Ustadz Abdul Halim bertanya: “Apakah ada bagian yang keliru saya baca? Jawab syekh Thanthawi: “Tidak, tidak ada satupun bagian yang keliru, akan tetapi bukan begitu cara membaca syi’ir”. Kemudian syekh Thanthawi menambahkan lagi: “Dulu, di masa jahiliyyah, ada sebuah pasar bernama Ukazh, di sana orang-orang jahiliyyah mengambil syi’irnya, seandainya syi’ir itu dibaca dengan cara hafal membacanya, tidak ada daya tariknya, akan tetapi, syi’ir itu harus dibaca sesuai dengan ruhnya”. Maka syekh Thanthawi kemudian mencontohkan cara membacanya dengan demikian indahnya.
Kemudian syekh Thnathawi melanjutkan: “Wahai anakku, manusia dalam hidup ini membutuhkan riyadhah (latihan), sebagaimana fisik itu harus dilatih, ruh itupun harus dilatih. Orang-orang yang biasa berlatih akan memiliki satu tingkat dari orang-orang yang tidak pernah berlatih”. (Di dalam tarekat ada satu tingkatan yang paling tinggi, yaitu Al Kasyf, yaitu kemampuan mengetahui apa-apa yang tidak diketahui oleh orang lain, bi-idznillah, suatu tingkatan bagi orang-orang yang memiliki tingkat latihan ruhiyyah paling tinggi). Syekh Thanthawi kemudian bertanya: “Adakah orang lain yang kedudukannya lebih tinggi lagi dari Ahlul Al Kasyf wahai anakku! Kata ustadz Abdul Halim: “Saya kira tidak ada wahai syekh!”.
Dijawab oleh Thanthawi: “Tidak wahai anakku”. Abdul Halim bertanya lagi: “Kedudukan mana lagi yang lebih tinggi dari itu?”. Jawab syekh Thanthawi: “Kedudukan yang lebih tinggi dari itu adalah kedudukan para rijal yang dibentuk oleh Allah swt dan dipilih diantara makhluq-Nya, mereka dipilih oleh Allah swt untuk memusnahkan kerusakan, menghilangkan kezhaliman, menghidupkan api keimanan di dalam hati setiap orang, serta menyebarkan ukhuwwah diantara orang-orang yang beriman, hingga da’wah ini menjadi kuat dan mampu mengangkat nama Allah di atas bumi dan mampu menghadapi orang-orang zhalim yang membuat kerusakan”.
Selanjutnya syekh Thanthawi mengatakan: “Ketahuilah anakku, misi ini, yang Allah pilih mereka untuk mengemban-Nya, menuntut mereka menjadi ahlul hajb, menjadi orang yang tidak nampak kekuatan spiritualnya (tidak bisa jalan di air, tahan dibakar api, dsb) –akan tetapi kedudukan mereka lebih tinggi dari Ahlul Kasyf, mengapa? Sebab, ilmu ahlul kasyf tidak dapat dipelajari, sedangkan ilmu ahlil hajb dapat dipelajari dan dapat berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga akhir zaman”. Tambah syekh Thanthawi, “termasuk diantara ahlil hajb adalah para rasul, nabi Musa as (ahlul hajb) kedudukannya lebih tinggi dari nabi Khidhir as (ahlul kasyf), sebab nabi Musa as termasuk ulul ‘azmi minar-rasul, hanya lima dari sekian banyak nabi dan rasul yang mendapatkan gelar ini, meskipun di dalam Al Qur’an secara sepintas seolah nabi Khidhir lebih tinggi daripadanya. Demikian pula dengan nabi Sulaiman as, ketika burung pelatuk kecil menemukan kerajaan Bilqis, berkata nabi Sulaiman: “Siapa yang dapat memindahkan singgasana ratu Bilqis kemari sebelum mereka datang ke sini? Berkata salah satu jin Ifrith: “Aku mampu memindahkan singgasana itu sebelum engkau bangkit dari tempat dudukmu”. Berkatalah seseorang yang diberi ilmu kitab, Asyif namanya: “Aku mampu memindahkan singgasana itu sebelum matamu berkedip”. Meskipun ilmu ahli kitab (ahlul kasyf) itu lebih tinggi dibanding nabi Sulaiman as, akan tetapi kedudukan nabi Sulaiman tetap lebih mulia, sebab dia adalah seorang rasul Allah, sedangkan Asyif tidak”.
Kata syekh Thanthawi: “Diantara ahlul hajb adalah sahabat-sahabat yang besar, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al Khoththob, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dll. Diantara mereka yang lain adalah kibarul mushlihin (para reformer besar) yang diantaranya adalah Hasan Al Banna”.
Bertanya Ustadza Abdul Halim: “Begitukah engkau melihat Hasan Al Banna?”.
Dijawab: “Ya”.
Ditanya lagi: “Bagaimana engkau dapat mengenalnya?”
Jawab Thanthawi: “Ketika aku mendangar namanya disebut-sebut orang, aku datangi dia dan aku duduk bersamanya, aku tanya dia: “Apa yang engkau da’wahkan?”. Sebagaimana banyak orang yang yang pernah aku jumpai dia menjawab: “Aku menda’wahi orang kepada Al Qur’an”. Maka aku katakan kepadanya: “Masing-masing kelompok mengaku bernisbat kepada Al Qur’an, tidak ada satu kelompokpun di dalam da’wah Islamiyyah ini –termasuk yang sesat sekalipun- kecuali mereka mengatakan: mengajak kepada Al Qur’an. Jawablah pertanyaan saya dengan rinci tentang da’wah yang engkau serukan itu pada setiap aspek kehidupan! Kemudian ia menerangkan da’wahnya dan aku dapati da’wahnya tidak keluar dari kitabullah dan sunnatur-Rasul saw”.
Diceritakan pula, ketika Thanthawi akhirnya terkesan dan tertarik serta ingin bergabung dengan Hasan Al Banna, dia bertanya: “Wahai Ustadz! Engkau adalah ustadz kami, dan ustadz semua orang di Mesir ini, andalah Hakimul Islam, kulihat anda lebih berhak untuk menduduki kepemimpinan di dalam da’wah ini, ini tanganku, aku siap berbai’at kepadamu”. Ketika Hasan Al Banna menjawab sungkan, dijawab oleh Thanthawi: “Tidak, wahai shahibud-da’wah, engkau lebih mampu untuk memikul beban da’wah ini dan engkau lebih pantas, dan ini tanganku”.
Ketika beliau bergabung dengan Ikhwanul Muslimin, teman-teman seangkatan beliau meledeknya dengan mengatakan: “Anda seorang ulama’ besar dan seorang syekh, mengapa anda mau menjadi kelompok yang dipimpin seorang anak muda dan anda hanya menjadi seorang pemimpin redaksi? Dijawab oleh Thanthawi: “Seandainya anda mengetahui siapa Al Banna, anda akan lebih dahulu bergabung daripada saya, sayang anda tidak mengetahuinya”.
Dari apa yang diungkapkan oleh Ustadz Abdul Halim Mahmud, kita dapat melihat bahwa Hasan Al Banna adalah orang yang dapat secara akrab menjalin hubungan dengan anggota setiap kelompok masyarakat tanpa membedakan satu dengan lainnya.
Dalam buku ini pula dapat kita saksikan bagaimana kearifan sikap Hasan Al Banna ketika menghadapi Thaha Husain, gembong kerusakan di bidang pemikiran yang membuka cakrawala pemikiran sesat di kalangan para pemikir Islam di belahan dunia, ketika ia menerbitkan buku Mustaqbaluts-Tsaqafah fi Mishr (Masa depan budaya Mesir), yang mendapat sanggahan bertubi-tubi dari berbagai kelompok yang ada di Mesir. Hasan Al Banna sendiri –karena kesibukannya- tidak mempunyai waktu untuk menanggapinya. Beberapa pengikutnya kemudian mengingatkan beliau dan berkata bahwa orang-orang menunggu tanggapan Ikhwanul Muslimin atas buku Thaha Husain itu, karena kedudukan Ikhwanul Muslimin saat itu sudah diperhitungkan di masyarakat. Dijawab oleh Hasan Al Banna bahwa dia sibuk dan tidak sempat membacanya.
Tanpa sepengetahuan Hasan Al Banna, para pengikutnya merencanakan untuk mengadakan semacam bedah buku Thaha Husain itu, dengan beliau sebagai pembahasanya. Lima hari sebelum acara berlangsung, diberitahukan kepadanya mengenai hal ini. Hasan Al Banna berkata terpaksa dia membaca buku itu dari rumah ke sekolah dan dari sekolah ke rumah, sementara ia berada di atas treem. Ia membaca buku itu dan memberi garis bawah bagian-bagian yang penting. Sebelum lima hari buku itu sudah selesai dibaca dan sudah pula dihafalnya. Buku itu tebalnya dua ratus halaman lebih.
Bedah buku itu diselenggarakan di kantor Syubbanul Muslimin, yang menjadi moderator adalah DR. Yahya Ad-Dardiri, sekjen Syubbanul Muslimin dan hadir pada acara bedah buku itu tokoh-tokoh Mesir dari berbagai kalangan.
Hasan Al Banna mengkritik buku itu dengan cara yang unik, dia mengatakan: “Saya tidak akan mengkritik buku ini dengan pendapat saya, tapi saya akan mengkritiknya dengan buku ini sendiri”. Kemudian beliau mengungkapkan bagian-bagian yang kontradiktif dari buku itu, lengkap dengan letak nomor halamannya, sekian dan sekian.
DR. Yahya Ad-Dardiri kemudian menyetop dan mengatakan bahwa dirinya telah membaca buku itu, tapi sepertinya dia tidak menemukan apa yang Hasan Al Banna kemukakan, dan dia meminta kepada Hasan Al Banna untuk mengijinkannya mengecek kebenaran kutipan-kutipan Hasan Al Banna langsung kepada buku itu. Ternyata terbukti, seluruh yang diungkapkan Hasan Al Banna benar adanya.
Dalam acara bedah buku itu sebenarnya Thaha Husain juga hadir, namun ia berada di tempat yang tersembunyi. Sebelum pulang ia mengatakan bahwa ia ingin bertemu dan berdialog dengan Hasan Al Banna. Ia menawarkan tiga tempat; di rumahnya, di kantornya atau di rumah Hasan Al Banna. Adapun waktunya, ia menyerahkannya kepada Hasan Al Banna. (bayangkan! Seorang mustasyar atau penasehat negara, menyerahkan waktu pertemuannya kepada seorang guru SD!).
Akhirnya terjadilah pertemuan di kantor Thoha Husain. Berkata Thoha Husain: “Seandainya di Mesir ini ada tokoh yang paling besar, andalah orangnya, apa yang anda sampaikan tentang buku saya, demikian baik”. Kata Hasan Al Banna: “Al Hamdulillah, adakah hal-hal yang tidak anda setujui?” dijwab oleh Thoha Husain: “Tidak ada, bahkan saya ingin agar pembahasan itu ditambah lagi”.
Kemudian Thaha Husain bertanya: “Apakah ada sikap dan perkataan saya yang tidak anda senangi? Ketahuilah! Selama ini saya berhadapan dengan orang yang tidak mempunyai etika dalam berdebat, ketika mereka menyerang saya, diri saya-pun diserang. Seandainya musuh-musuh saya adalah orang-orang semulia anda, sejak awal saya akan menghormati mereka”.
Hasan Al Banna menjawab: “Anda adalah seseorang yang cukup bangga dengan Barat, akan tetapi sayang, anda tidak mampu membedakan dua hal yang sangat berbeda. Adapun ilmu, itu adalah sesuatu yang terus berkembang, hari ini kita benar, esok hari bisa jadi kita keliru. Akan tetapi agama, dia adalah sesuatu yang pasti dan tidak berubah, jika kita menjadikan agama sebagai ilmu, sama artinya kita merubah agama itu dari hari ke hari, dan jika kita menjadikan ilmu sebagai agama, kita berarti telah membunuh hak ilmu itu untuk berkembang, padahal semestinya kita meletakkan keduanya pada tempatnya masing-masing.
Hal yang lain lagi, kalian –para pengagum Barat- lebih mendahulukan akan daripada wahyu, ketika akal bertabrakan dengan wahyu, kalian mengambil akal dan membuang wahyu”.
Dalam kesempatan dialog itu Hasan Al Banna juga mengkritik polemik yang tejadi antar sesama ummat Islam. Beliau mengatakan kalau seandainya berpolemik ummat Islam mempunyai tenggang rasa sedikit saja, mereka akan bertemu pada satu titik persamaan, akan tetapi sayang, mereka memilih bersikap seperti empat orang buta yang mensifati binatang gajah, yang kata Imam Al Ghozali, masing-masing bersikeras pada pendapatnya yang sebenarnya juz’i. Seandainya mereka memiliki toleransi sedikit saja, mereka bisa bersepakat dalam menilai gajah tersebut dalam bentuknya yang utuh.
Ustadz Abdul Halim mencatat, sejak saat itu Thaha Husain menjadi lebih baik sikapnya. Beliau kemudian memilih untuk mendalami sastra Arab dan mengurangi perannya dalam menyesatkan ummat.
Adapun hubungan Hasan Al Banna dengan para ulama’, ketika syekh Abdul yazid datang ke Indonesia, beliau bercerita: “Di Mesir, ada sebuah kota yang bernama Zaqzuq. Ketika Hasan Al Banna hendak melakukan kunjungan ke sana, adalah seorang ulama’ tarekat terkenal yang memiliki banyak murid. Ia berupaya membuat makar untuk menggagalkan acara kunjungan Hasan Al Banna. Namun karena tanggal kedatangan Hasan Al Banna dirahasiakan, hanya sedikit orang yang tahu, ulama’ ini tidak mengetahui persis kapan Hasan Al Banna akan datang berkunjung. Pada suatu hari, sang ulama’ ini dikejutkan oleh seseorang yang mengetuk pintunya untuk berkunjung. Ulama’ itu bertanya: “Siapa?” dijawab: “Saya, Hasan Al Banna”. Maka terkejutlah dia, dengan ‘terpaksa’ ia menjamu Hasan Al Banna. Hasan Al Banna kemudian berkata kepada sang ulama’ itu: “Adalah satu hal yang tidak pantas bagi saya, ketika saya masuk suatu negeri dengan tidak meminta ijin pada penguasanya”. Sampai saat ini keturunan ulama’ itu, meskipun tidak bergabung dengan Ikhwanul Muslimin, setiap kali ada kegiatan ikhwan, selalu membantu.
Demikian pula sikap Hasan Al Banna terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani. Ketika Ikhwanul Muslimin mengirim pasukan ke Paletina, Hasan Al Banna mampu mempergunakan Manthiqul Hal dalam berdialog dengan para penguasa maupun tokoh-tokoh lainnya.
Inilah profil Hasan Al Banna. Kita perlu menggali lebih jauh dan dalam lagi. Dalam sejarah, umumnya memang para tokoh-tokoh utama itulah yang muncul secara mengesankan, sehingga mampu memberi warna perjalanan da’wah.
Di zaman Rasulullah saw misalnya, sepeninggal Rasulullah bisa dibilang tidak ada tokoh sehebat beliau yang muncul.
Demikian pula dalam jama’ah ini, yang menurut DR. Al Faruqi, belum ada tokoh sebesar Hasan Al Banna yang muncul, namun kita tetap yakin bahwa :
إِنَّ لِكُلِّ مَرْحَلَةٍ رِجَالُهَا
Sesungguhnya tiap-tiap marhalah itu ada tokohnya.
Pertanyaan kita hari ini:
رِدَّةٌ وَلاَ أَبَا بَكْرٍ لَهَا!
Kalau pada zaman dahulu, ada kemurtadan, dan ada Abu Bakar, sehingga kemurtadan itu sirna.
Sekarang ini ada masyarakat, mana Hasan Al Banna-nya?!!

Selasa, 19 Januari 2010

Ciri-Ciri Hizbusy Syaithan Dalam Konteks Kekinian

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله، الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه ووالاه، أما بعد:
Dua Kelompok Manusia
Ikhwah Fillah…
Meskipun Allah SWT telah mengambil kesaksian kepada manusia tentang rububiyah-Nya saat mereka masih berada di alam ruh dan mengatakan “balaa syahidnaa” (Ya kami menyaksikan), namun dalam realitas kehidupan masih kita temukan kelompok manusia yang selalu mengingkari Allah SWT. Pada akhirnya mereka senantiasa mengingkari kebenaran yang telah dibawa para Nabi dan Rasul-Nya. Setiap risalah yang diserukan oleh para Rasul selalu saja mereka mendustakannya. Bahkan mereka dengan sengaja menjadikan diri mereka sebagai front penentang setiap kebenaran yang dibawa oleh para Rasul.
Maka jelas bagi kita bahwasanya manusia terbagi menjadi dua kelompok atau dua golongan yang terus bermusuhan sepanjang sejarah peradaban dan kehidupannya. Sebagian mereka ada yang sangat tunduk dan patuh kepada setiap seruan dan ajaran yang dibawa para Nabi dan Rasul. Mereka senantiasa meyakini kebenaran ayat-ayat Ilahiyah yang ditilawahkan dan diajarkan para Rasul, tampil sebagai pembela kebenaran dan berjuang dengan segala pengorbanan demi tegaknya kalimat “laa ilaaha illallah” di persada dunia. Mereka itulah yang disebut “Hizbullah” (Partai Allah) oleh Al-Qur’an. Dan sebagian yang lain ada yang menjadi kelompok pendukung dan pembela kebatilan, kekufuran dan kemunkaran.
Ikhwah Fillah…
Perhatikan beberapa firman Allah dan hadits Rasulullah tentang hal ini;

“Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) : “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)” (Q.S. 16:36)
“Setan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan setan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan setan itulah golongan yang merugi.” (Q.S. Al-Mujadilah:19)

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itu orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari pada-Nya………. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan Allah itu golongan yang beruntung.” (Q.S. ِAl-Mujadilah: 22)
Ikhwah Fillah…
Dari beberapa ayat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwasanya hizbusy syaithan ini terus berada dalam kesesatan dan kebatilan. Mereka tak henti-hentinya menebarkan kesesatan dan kebatilan ini dengan segala cara selama ada kesempatan. Mereka juga terus mempengaruhi manusia yang lain agar mau bersama-sama mereka untuk memperjuangkan keyakinannya dan menghasungnya dalam rangka bermaksiat kepada Allah.
Langkah-langkah Hizbus Syaitan
Ikhwah Fillah….
Hizbusy Syaithan tidak akan tinggal diam untuk mewujudkan keinginan dan impian-impiannya. Mereka senantiasa melangkah untuk menghimpun manusia-manusia yang bisa dipengaruhinya Inilah beberapa langkah yang ditempuh oleh mereka; Pertama, mereka berusaha keras mengeluarkan manusia dari cahaya Allah dan nilai-nilai keimanan. Allah berfirman; “Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS 2:257). Kedua, tazyiin (memandang bagus kemaksiatan). Mereka menganggap kemaksiatan sebuah ketaatan, melakukan kemunkaran sebagai hak asasi dan meyakini kemaksiatan sebagai media perenungan karunia Allah. Inilah fenomena yang terjadi dewasa ini, fenomena masyarakat didominasi oleh penyakit syahwat dan syubhat. Allah berfirman; “Dan Kami tetapkan bagi mereka teman-teman yang menjadikan mereka memandang bagus apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka dan tetaplah atas mereka keputusan azab pada umat-umat yang terdahulu sebelum mereka dari jin dan manusia. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi.” (QS 41:25) Ketiga, taswis (membisikkan kejahatan dan membangun keraguan dalam hati manusia). Golongan yang telah dijerumuskan setan ini selalu berusaha membangun keraguan di dalam hati manusia-manusia lain akan kebenaran Islam. Mereka selalu mengingkari ayat-ayat Ilahiyah dan tidak pernah menempuh jalan yang membawa petunjuk. Allah berfirman; “..dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. Dari golongan jin dan manusia.” (Q.S. 114:4-6)
Ciri-ciri Hizbusy Syaithan
Ikhwah Fillah….
Setiap kelompok memiliki ciri-ciri khusus yang menjadi karakter pembeda antara satu dengan yang lain. Sebagaimana hizbullah memiliki ciri-ciri atau muwashafat yang berkaitan dengan nilai-nilai ketaqwaan dan kemuliaan, maka hizbusy syaitan juga memiliki ciri-ciri tertentu sebagai berikut;
Pertama, selalu lupa kepada Allah (ghaflah).
“Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi.” (QS 59:19) Manusia dari golongan dan status apa saja apabila sudah dikuasai syaitan, niscaya ia akan lupa kepada Allah SWT. Dan pada akhirnya mereka akan mudah melakukan pelanggaran-pelanggaran dan menikmati hal-hal yang dilarang Islam. Coba kita renungkan kembali manusia-manusia yang saat ini duduk di tiga lembaga tinggi Negara, bagaimana perbuatan dan tindakan mereka yang selama ini dikuasai setan. Dan juga masyarakat kita yang masih bersama-sama setan, sebagaimana yang dilakukan oleh mereka dalam lembaran-lembaran kehidupan selama ini.
Kedua, mengekor hawa nafsu

Maka datanglah sesudah mereka, pengganti yang buruk yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti hawa nafsu, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. (Q.S. 19:59)

Ketiga, menjauhi Al-Qur’an

Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat-Ku mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya…” (Q.S. 7:146)
Keempat, dikuasai syaitan
“Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi.” (QS 59:19)
Kelima, loyal kepada musuh-musuh Allah.


“Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS 2:257)
Ikhwah Fillah….
Semoga kita senantiasa termasuk penentang golongan ini dan menjadi hizbullah sepanjang kehidupan kita. Mereka akan hilang dan musnah, sementara hizbullah akan terus eksis dan memetik kemenangan sesuai janji Allah SWT. Wallahu A’lam

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ - والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Jumat, 08 Januari 2010

Jadikan Shalat Pencegah Perbuatan Keji dan Munkar

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله، الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه ووالاه، أما بعد:

Setiap kewajiban yang telah dibebankan Islam kepada umatnya senantiasa memuat hikmah dan maslahat bagi mereka. Islam menginginkan terbentuknya akhlak Islami dalam diri Muslim ketika ia mengimplementasikan setiap ibadah yang telah digariskan oleh Allah SWT dalam Kitab dan Sunnah rasul-Nya.

Pada akhirnya nilai-nilai keagungan Islam senantiasa mewarnai ruang kehidupan Muslim. Tidak hanya terbatas pada ruang kepribadian individu Muslim, namun nilai-nilai itu dapat ditemukan pula dalam ruang kehidupan keluarga dan komunitas masyarakat Muslim. Kita bisa merenungkan kembali ayat-ayat Allah yang berkaitan dengan hal ini, sebagaimana salah satu firman-Nya,

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 183).

Melalui ibadah puasa, Allah SWT menginginkan terbentuknya pribadi-pribadi Muslim yang bertakwa. Pribadi yang tidak pernah mengenal slogan hidup kecuali slogan yang agung ini: sami’naa wa atha’na. Pribadi yang senantiasa melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya dalam situasi dan kondisi apapun.

Oleh karenanya, Nabiyullah agung Muhammad SAW telah bersabda: “Takutlah kamu kepada Allah di manapun kamu berada, ikuti keburukan dosa dengan kebaikan niscaya ia akan menghapuskannya dan gauli manusia dengan akhlak yang baik.”

Dalam sabda beliau yang lain: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa faridlah (kewajiban) maka jangan sekali-kali kamu menyia-nyiakannya, Dia telah menetapkan batasan-batasan maka jangan sekali-kali kamu melampui batas, Dia telah mengharamkan banyak hal maka jangan sekali-kali melanggarnya….”

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. 9/At-Taubah: 103).
Dengan ibadah zakat, Islam mengharapkan tumbuh subur sifat-sifat kebaikan dalam jiwa seorang Muslim dan mampu memberangus kekikiran dan cinta yang berlebihan kepada harta benda. Begitu juga ibadah shalat yakni ibadah yang jika seorang hamba melaksanakan dengan memelihara syarat-syarat, rukun-rukun, wajibat, adab-adab, dan kekhusyu`an di dalamnya, niscaya ibadah ini akan menjauhkannya dari perbuatan keji dan kemunkaran. Sebaliknya, ibadah ini akan mendekatkan seorang hamba yang melaksanakannya dengan sebenarnya kepada Sang Khalik dan mendekatkannya kepada kebaikan-kebaikan serta cahaya hidup.

Perhatikan ayat berikut ini, “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. 29/Al-Ankabuut: 45).

Muslim yang selalu menunaikan ibadah ini akan selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan kebaikan dan mampu menjadi cahaya di tengah-tengah masyarakatnya. Muslim yang memiliki hamasah yang menggelora dalam memperjuangkan kebenaran dan memberangus nilai-nilai kemunkaran, kelaliman, dan perbuatan keji lainnya. Hatinya terasa tersayat di saat menyaksikan pornografi dan porno aksi mewabah di tengah-tengah masyarakatnya. Jiwanya akan terus gelisah ketika melihat kelaliman yang dipermainkan para budak kekuasaan.

Memang, ia harus menjadi cahaya yang berjalan di tengah-tengah kegelapan zaman ini. Allah berfirman, “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. 6Al-An’am: 122)

Ikhwan dan akhwat fillah,
Ibadah shalat adalah awal kewajiban yang diperintahkan Allah SWT kepada umat ini pada peristiwa Isra dan Mi’raj. Ibadah yang merupakan simbol dan tiang agama, “Pokok urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.” (HR Muslim). Ibadah yang dijadikan Allah sebagai barometer hisab amal hamba-hamba-Nya di akhirat, “Awal hisab seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka seluruh amalnya baik, dan apabila buruk maka seluruh amalnya buruk.” (HR At-Thabrani).

Ibadah shalat merupakan wasiat Nabi yang terakhir kepada umat ini dan yang paling terakhir dari urwatul islam (ikatan Islam) yang akan dihapus oleh Allah SWT. Selain ini, shalat juga penyejuk mata, waktu rehatnya sang jiwa, saat kebahagiaan hati, kedamaian jiwa dan merupakan media komunikasi antara hamba dan Rabbnya.
Ibadah yang memiliki kedudukan atau manzilah yang agung ini tidak akan hadir maknanya dalam kehidupan kita, tatkala kita lalai menjaga arkan, wajibat dan sunah yang inheren dengan ibadah ini.

Tatkala kita tidak mampu menghadirkan hati, merajut benang kekhusukan dan keikhlasan dalam melaksanakan ibadah ini maka kita tidak akan mampu menangkap untaian makna yang terkandung di dalamnya. Kita tidak akan mampu memahami sinyal-sinyal rahasia yang ada di balik ibadah ini.

Tidakkah banyak di antara manusia Muslim yang ahli ibadah namun masih jauh dari nilai-nilai Islam. Ahli shalat namun masih suka melakukan kemaksiatan. Hal ini disebabkan nilai-nilai agung yang terkandung dalam ibadah sama sekali tidak mampu memberikan pesan-pesan ilahiah di luar shalat. Takbir yang dikumandangkan di saat beribadah tidak mampu melahirkan keagungan di luar shalat. Do’a iftitah “Inna shalaatii wa nusukii….” yang dilafazkan dalam shalat tidak mampu mengingatkan tujuan hidupnya. Ibadah ini seolah-olah hanya menjadi gerakan-gerakan ritual yang maknanya tidak pernah membumi dalam kehidupan orang yang melaksanakannya.

Oleh karena itu, ibadah shalat yang mampu melahirkan hikmah pencegahan dari perbuatan keji dan kemungkaran, hikmah pensucian jiwa dan ketentraman, apabila dilakukan dengan penuh kekhusyukan, mentadabburkan gerakan dan ucapan yang terkandung di dalamnya, penuh ketenangan dan dengan tafakkur yang sesungguhnya. Maka ia akan keluar dari ibadah dengan merasakan kenikmatannya, terkontaminasi dengan nilai-nilai keta’atan dan mendapatkan cahaya ma’rifatullah.

Rasulullah SAW bersabda: “Tidak seorangpun yang melaksanakan shalat maktubah (fardlu), lalu ia memperbaiki wudlunya, khusyuk dan rukuknya kecuali shalat ini akan menjadi pelebur dosa-dosa sebelumnya selama tidak melakukan dosa besar. Dan ini berlaku sepanjang tahun.” (H.R. Muslim)

Inilah yang pernah dilakukan oleh salaf shalih termasuk di dalamnya Ibnu Zubair RA. Mereka laksana tiang yang berdiri tegak karena kekhusyukannya. Mereka terbius dengan kerinduannya akan Rabbnya dan mereka asyik berkomunikasi dengan Sang Khalik tanpa terganggu dengan suara makhluk-Nya.

Ikhwan dan akhwat fillah,
Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan di saat melaksanakan ibadah shalat agar hikmah di dalamnya selalu terjaga. Pertama, menjaga arkan, wajibat dan sunah. Rasulullah SAW bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat.”
Kedua, ikhlas, khusyuk dan menghadirkan hati. “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Q.S. 98/Al-Bayyinah: 5).
Ketiga, memahami dan mentadabburi ayat, do’a dan makna shalat. “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (Q.S. 107/Al-Maa’uun: :4-5).
Keempat, mengagungkan Allah SWT dan merasakan haibatullah. Rasulullah SAW bersabda, “…Kamu mengabdi kepada Allah seolah-olah kamu melihatNya dan apabila kamu tidak melihat-Nya, maka (yakinlah) bahwasanya Allah melihat kamu…” (H.R. Muslim).

Semoga kita semua mampu merenungkan kembali arti shalat dalam kehidupan dakwah dan memperbaikinya agar kita benar-benar mi’raj kepada Allah SWT. Wallahu A’lam Bish-shawwab

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ - والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Kamis, 07 Januari 2010

URGENSI DAN KEKUATAN DO’A DALAM DA’WAH DAN JIHAD

اَلْحَمْدُ للهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُه، وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا، وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرْيِكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا، وَحَبِيْبِنَا، وَشَفِيْعِنَا، وَقُرَّةِ أَعْيُنِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحَابَتِهِ، وَمَنْ سَارَ عَلى نَهْجِهِ، وَجَاهَدَ فِيْ سَبْيِلِهِ، وَاهْتَدَى بِسُنَّتِهِ إَلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ :

وَيَقُوْلُ الرَّسُوْلُ r : اللّهُمّ انْجِزْ لِي مَا وَعَدْتَني، اللّهُمّ آتِنِيْ مَا وَعَدْتَنِي اللّهُمّ إِنّكَ إنْ تَهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةُ مِنْ أهْلِ الإسْلاَمِ لاَ تُعْبَدُ فِي اْلأَرْضِ [متفق عليه]، وَصَدَقَ رَسُوْلُهُ النَّبِيُّ الْكَرِيْمُ، وَنَحْنُ عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ

Ikhwati fillah …

Alhamdulillah, pada kesempatan kali ini, Allah swt mempertemukan kita dalam suasana tawashaw bil haqq wa tawashaw bish-shabr. Suasana saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran. Juga dalam suasana tawashaw bil marhamah, suasana saling berwasiat dengan kasih sayang. Suasana tafaqquh fiddin, suasana menambah dan memperdalam pemahaman kita terhadap agama kita. Semoga Allah swt memberikan manfaat dan keberkahan dalam pertemuan ini. Dan semoga kita semua senantiasa dalam lindungan, ‘inayah dan ri’ayah-Nya. Amin.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan dan panutan kita Muhammad saw. Juga kepada seluruh keluarga beliau, sahabat beliau, dan semua orang yang mengikuti sunnah dan manhaj beliau, berjihad di jalannya, menghidupkan sunnahnya dan menyebarkannya. Dan semoga kita semua termasuk orang-orang yang mendapatkan bagian dari shalawat dan salam tadi. Amin.

Ikhwati fillah …

Kita sering mendengar ungkapan yang mengatakan: ad-du’a-u silahul mukmin (do’a adalah senjata orang beriman). Ungkapan ini, bukan merupakan hadits nabi saw. Namun, banyak ayat Al Qur’an dan juga sunnah nabi saw yang shahih menjelaskan bahwa ungkapan itu secara makna adalah ungkapan yang shahih. Oleh karena itu, ikhwati fillah, jangan sampai kita melalaikan senjata yang satu ini. Karena tidak semua orang mampu menggunakannya kecuali orang-orang beriman..

Banyak ayat-ayat Al Qur’an menjelaskan kepada kita, betapa do’a adalah kekuatan yang ampuh dan dahsyat. Doa yang dipergunakan oleh para anbiya’ wal mursalin dalam perjalanan da’wah dan jihad mereka.

Kita ingat, kisah tentang nabiyullah Nuh ‘alaihis-salam melakukan jihad da’awi siang dan malam secara sembunyi dan terang-terangan. Jihad yang dilakukan selama sembilan ratus lima puluh tahun. Ternyata masyarakat yang menerima da’wah beliau hanya sedikit saja. Menghadapi kondisi demikian beliau memanjatkan do’a kepada Allah swt:

Nuh berkata: "Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat ma`siat lagi sangat kafir. (QS Nuh: 26 – 27)

Demikianlah, kemudian akhirnya kita ketahui ternyata Allah swt memang membinasakan seluruh orang-orang kafir itu. Sesuai do’a yang dipanjatkan oleh nabi Nuh ‘alaihissalam.

Kita juga teringat tentang do’a nabiyullah Musa ‘alaihis-salam kepada Allah SWT yang ditujukan untuk Fir’aun dan bala tentaranya. Karena mereka sudah benar-benar melampaui batas dalam kecongkakan dan kepongahan dengan mengandalkan berbagai macam kekuatan duniawi yang dimilikinya. Saat itu nabiyullah Musa ‘alaihis-salam berdo’a:

Musa berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir`aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksan yang pedih”. (QS Yunus: 88)

Kemudian selanjutnya kita ketahui apa yang menimpa Fir’aun dan bala tentaranya, mereka semua ditenggelamkan Allah swt di lautan.

Semua kisah tersebut di atas adalah contoh do’a-do’a para nabi kepada Allah swt. Doa agar Allah menghancurkan orang-orang yang melampaui batas dalam melakukan pembangkangan terhadap ajaran Allah swt, para nabi dan rasul-Nya. Terdapat pula contoh lain, yaitu do’a para nabi yang mengharapkan agar kaumnya mau menerima da’wahnya.

Salah satu diantaranya adalah do’a nabiyullah Muhammad saw. Doa ketika da’wah beliau kepada orang-orang Thaif disambut dengan lemparan batu dan tuduhan-tuduhan yang menyakitkan. Saat itu beliau saw memanjatkan do’a kepada Allah swt dengan mengatakan:

اَللَّهُمَّ اهْدِ قَوْمِيْ فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ

Ya Allah, berikanlah petunjuk dan hidayah kepada mereka, sebab mereka tidak mengetahui

Setelah kurang lebih sepuluh tahun kemudian seluruh penduduk Thaif menyatakan masuk Islam, berarti ada jarak kurang lebih 10 tahun antara do’a nabi Muhammad saw dengan kenyataan mereka menerima hidayah Allah swt.

Yang menarik, saat terjadi gelombang massal pemurtadan pada masa Khalifah Abu Bakr As-Shiddiq di Jazirah Arab, orang-orang Thaif tidak termasuk golongan yang murtad. Pemimpin mereka berkata kepada kaumnya: “Wahai kaumku, janganlah kalian murtad, sebab kalian adalah yang paling akhir masuk Islam, maka janganlah kalian menjadi yang pertama dalam kemurtadan!”

Ikhwati fillah …

Do’a juga merupakan rujukan terakhir orang-orang beriman saat mereka menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan besar. Khususnya saat mereka berjihad di jalan Allah swt.

Kita bisa renungi bagaimana saat pasukan Thalut berhadapan dengan pasukan Jalut yang besar dan dahsyat. Saat itu mujahidin mukminin melihat betapa besar dan hebatnya kekuatan pasukan Jalut, maka mereka memanjatkan do’a kepada Allah swt:

Tatkala mereka nampak oleh Jalut dan tentaranya, mereka pun (Thalut dan tentaranya) berdo`a: "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir". (QS Al Baqarah: 250)

Maka, do’a itu membuat Allah swt memberikan kemenangan-Nya kepada mereka. Sekalipun jumlah dan peralatan mereka sangat tidak sebanding dengan apa yang dimiliki pasukan Jalut, sebagaimana tersebut pada ayat setelahnya.

Do’a yang mirip dengan do’a pasukan Thalut diatas adalah do’a nabi Muhammad saw ketika menghadapi pasukan yang menjadi kekuatan utama musyrik Makkah, di bawah pimpinan Abu Jahal cs. Saat itu nabi Muhammad saw terus berdo’a kepada Allah swt tiada henti-hentinya, begitu khusyu’ dan seriusnya, hingga selendang (baju penutup tubuh bagian atas) beliau terjatuh. Beliau memanjatkan do’a:

اللّهُمّ انْجِزْ لِي مَا وَعَدْتَني، اللّهُمّ آتِنِيْ مَا وَعَدْتَنِي اللّهُمّ إِنّكَ إنْ تَهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةُ مِنْ أهْلِ الإسْلاَمِ لاَ تُعْبَدُ فِي اْلأَرْضِ [متفق عليه]

Ya Allah, penuhi dan wujudkan apa yang telah Engkau janjikan kepadaku, ya Allah, berikanlah kepadaku apa yang telah Engkau janjikan kepadaku, ya Allah, jika golongan Islam ini binasa, niscaya Engkau tidak akan disembah lagi di atas bumi ini (HR Muttafaqun ‘alaih).

Dan sebagaimana diabadikan oleh sejarah, pada hari itu Allah swt menghancurkan kekuatan utama musyrik Makkah.

Ikhwati fillah …

Da’wah dan jihad kita sekarang ini sedang menghadapi rintangan dan tantangan besar dan dahsyat. Bukan hanya dalam skala lokal, tetapi juga regional dan bahkan internasional. Oleh karena itu ikhwati fillah, panjatkanlah do’a kepada Allah swt untuk kejayaan Islam, da’wah Islam dan jihad Islami. Dan jangan lupa panjatkan pula do’a untuk hancurnya kebathilan, pendukung kebathilan dan antek-anteknya. Ingat, untuk berdo’a optimalkan waktu-waktu mustajabah (waktu-waktu yang lebih dekat kepada terkabulkannya do’a). Khususnya di sepertiga malam terakhir saat banyak manusia terlelap tidur.

Demikianlah, semoga kita termasuk orang-orang yang tidak terhalangi untuk mendapatkan pahala para mujahidin dan da’i, amin.

 

ALLAH GHOYATUNA Copyright © 2008 Black Brown Art Template by Ipiet's Blogger Template